Integrasi Budaya Dalam Tata Rupa Kota Solo

 

Kemajuan-kemajuan masa kepemipinan Walikota Solo Joko Widodo mulai dapat dilihat di banyak bidang, tak terkecuali di bidang tata kota.. Namun demikian, belum terlihat integrasi budaya secara menyeluruh dalam gagasan besar yang sedang dicanangkan. Semangat penataan kota untuk mewujudkan Solo sebagai kota budaya yang asri agaknya belum mempertimbangkan kekuatan simbol-simbol visual yang telah ditinggalkan para pengelola kota terdahulu.Hal ini dapat bertolak belakang dengan budaya Jawa yang penuh dengan unsur-unsur simbolik, sehingga usaha untuk mewujudkan slogan Solo the Spirit of Java patut dipertanyakan.

Mencermati perawatan dan penanaman pohon jalur hijau di beberapa lokasi dan ruas jalan utama saat ini menjadi hal yang menarik.. Beberapa jenis pohon yang baru ditanam diantaranya adalahpalem sadeng dan kelapa. Sedangkan pohon – pohon yang telah ada sejak dulu ada beberapa macam. Pohon cemara dan mahoni dapat kita temukan di kawasan stadion Manahan, stadion Sriwedari dan jalan Hasanudin. Pohon asem masih dapat dilihat di jalan Rajiman, Perintis Kemerdekaan, dan jalan Slamet Riyadi. Jenis pohon lainnya adalah angsana, glodog, akasia, petai cina dan lain-lain secara tidak merata ditemukan di banyak lokasi. Secara visual keadaan ini memperlihatkan kesemrawutan, disintegrasi, dan tidak adanya keberlanjutan program jalur hijau kota dari waktu ke waktu.Sebagai contoh adalah jalur hijau dari perempatan Purwosari hingga Gendengan yang saat ini sedang dibangun fasilitas City Walk, jenis pohon yang ada terlalu variatif hingga tidak dapat dinikmati secara visual.

Sebuah pohon yang ditanam di jalur hijau, selayaknya tidak dipahami hanya dalam aspek fungsi sebagai fasilitas peneduh saja. Secara visual sebuah pohon dapat menjadi salah satu komponen estetika dalam tata visual sebuah kota. Bahkan sebuah pohon atau beberapa bagiannya (batang, ranting, daun, dan bunga) juga sangat berpotensi untuk menjadi lambang sebuah daerah, institusi partai politik, dan institusi negara. Sedangkan pada tingkatan makna, pohon dapat menjadi simbol atau tetenger atas pesan-pesan sebuah tata nilai budaya tertentu. Hal ini dapat dilihat pada wilayah atau kota-kota di Indonesia yang masih mampu merawat jalur hijau dengan pohon-pohon tua semisal kota Bogor atau Bandung.

Para penguasa Kraton Kasunanan Surakarta (terutama raja Paku Buwana X ) sangat cerdas secara emosional dalam memproduksi tetenger yang dapat dilihat dari desain kawasan kraton Kasunanan Surakarta yang sarat dengan makna nilai budaya. Pohon beringin dan pohon sawo kecik yang ditanam tidak hanya dijadikan peneduh, namun juga digunakan sebagai simbol pesan sebuah tata nilai kepada generasi penerus. Hal inilah yang dapat menjadi contoh penguasa-penguasa baru di Surakarta, dimana menata kawasan hijau kota tidak hanya dengan target estetika visual, namun juga keselarasan budaya. Keserasian jenis pohon pada jalur hijau akan mendukung terwujudnya keasrian sebuah kota. Apalagi jika pohon yang ditanam dimaksudkan juga untuk membentuk cirikhas kota Solo, bukan dalam arti menanam sawo kecik seperti di kraton, namun melanjutkan semangat menata kota dengan mengintegrasikan nilai-nilai budaya. Kesabaran dan kearifan hari ini kelak akan dinikmati anak cucu kita.