Masjid Agung Surakarta, riwayatmu doeloe

Suatu ketika di tahun 2006 saya pernah ditantang oleh seorang dosen FSRD ( Fak Seni Rupa Desain ) ITB: “Coba kamu teliti kenapa ketika saya masuk ke masjid Agung Solo yang terasa kok malah seperti masuk ke pura?”

Itu salah satu pertanyaan yang menggugah saya untuk mulai memperhatikan masjid sebagai bidang kajian dan penelitian dalam ranah desain. Beberapa bulan kemudian saya sudah berkeliling ke beberapa masjid bersejarah untuk menemukan hakekat nenek moyang kita dalam membangun masjid. Hingga kini, semangat itu masih ada dan menjadi pendorong bagi pekerjaan-pekerjaan “besar”yang lain. yaitu begaimana membuat diri ini bermanfaat bagi manusia lain.

Satu hal pertama saya sampaikan tentang masjid Agung Solo adalah keindahan ragam hiasnya. Hal ini tidak ditemui di masjid bersejarah yang lain. Kemampuan mengartikulasikan rasa keindahan berdasar material yang ada saat itu benar-benar telah mencapai puncaknya. Salah satunya adalah ragam hias pada lantai.

Jika dihitung, terdapat 20 jenis ragam hias pada bahan ubin yang digunakan baik di bagian luar dan bagian dalam. Untuk di bagian luar hingga kini masih terpelihara dengan baik, sedangkan yang bagian dalam sudah digantikan dengan marmer putih dan disisakan beberapa lembar saja di bagian sudut tenggara ruang sholat utama.

Memang sebenarnya jenis ragam hias itu juga terdapat di bangunan-bangunan di dalam keraton atau rumah-rumah saudagar kaya di sekitar keraton hingga Laweyan. Namun untuk disatukan dalam upaya memperindah ruang-ruang di masjid, hanya pada masjid inilah kita temukan.

Pada gambar di atas adalah pola lantai yang diterpakan di ruang serambi. ubin dengan ragam hias bunga putih dengan latar kuning di kelilingi dengan ubin abu-abu dengan ragam hias flora hitam.