Masjid Agung Solo
Hampir di setiap kota besar di Indonesia terdapat bangunan monumental yang menjadi tanda kekuasaan dan keberhasilan institusi pemerintahan saat itu. Bangunan-bangunan tersebut dapat berupa istana sebagai pusat pemerintahan, sarana ibadah, tugu, dan fasilitas publik yang lainnya. Salah satu fasilitas publik yang paling banyak berdiri adalah masjid, demikian juga di kota Surakarta di mana berdiri Masjid Agung Surakarta.
Menurut Basit Adnan (1996: 12) dan Eko Budihardjo (1989:63) masjid ini didirikan pada tahun 1757 tepat 12 tahun setelah peristiwa dipindahnya Kraton Kasunanan Surakarta dari Kartasura ke wilayah desa Sala pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwana III. Masjid ini dibangun sebagai fasilitas publik yang melengkapi Istana Kasunanan Surakarta. Beberapa perubahan sempat terjadi terhadap fisik bangunan, tetapi secara umum masjid ini masih dalam kondisi yang terawat hingga masa sekarang.Sebagai bagaian dari aset kerajaan, masjid ini pada awalnya dikelola khusus oleh pejabat kraton yang bergelar KRTP (Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsiranom ) yang diangkat oleh Raja dan secara struktural berada di bawahnya. Semua pengelolaan masjid termasuk diantaranya gaji pengelola ditanggung oleh raja. Hal demikian terjadi karena sebagai wujud dari keberadaan raja yang juga bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah atau Kalifatullah Pengatur Bidang Keagamaan (Basit Adnan, 1996:5) . Sampai saat masa pemerintahan diambil alih oleh pemerintah RI di masa kemerdekaan, masjid ini masih dikelola oleh KRTP Tafsiranom hingga generasi KRTP Tafsiranom VI.
Masjid ini terletak di sebelah barat alun-alun utara. Di sebelah selatannya berdiri pasar Klewer dan di sisi lainnya terdapat perkampungan penduduk. Pagar tinggi dibangun mengelilingi masjid ini dengan pintu gerbang di depan dan dua pintu samping kanan dan kiri. Bangunan masjid dibuat secara berurut dengan pembedaan tinggi lantai dan keluasannya yaitu: teras, serambi, ruang utama. Secara umum bentuk yang muncul adalah wujud arsitektur Jawa dengan beberapa komponen finishing yang terpengaruh oleh arsitektur Barat (Eropa) misalnya pada kolom terasnya. Bentuk denah ruang utama adalah persegi empat dengan sisi yang hampir sama dengan 4 (empat ) soko guru berbentuk silinder yang mempunyai 12 penanggap. Blandar dibuat secar polos dengan hiasan saton pada plafonnya. Di sayap kiri dari ruang utama terdapat pawestren yang dipisah atau disekat dengan dinding permanen dari batu bata. Sedangkan di sayap kanan terdapat ruang untuk aktifitas keagamaan yang lain.
Pada ruang serambi, teradapat 40 buah tiang dengan hiasan tradisional putri mirong, dan kaligrafi. Sedangkan di teras bawah terdapat 20 tiang batu bata yang dibuat dengan bentuk doric dan kearah depah disambung dengan tratag rambat yang berbentuk kuncung. Akses hubungan dari masing-masing ruang disediakan tangga antara serambi bawah dan serambi utama. Sedangkan dari serambi utama ke ruang sholat utama terdapat pintu berjumlah 7 buah. Motif flora fauna diterapkan pada 3 pintu utama di tengah, 2 bermotif flora dan sisanya 2 pintu dibuat polos. Secara keseluruhan finishing ruang dominan dengan warna biru laut yang diterapkan pada bagian-bagian yang terbuat dari kayu.